Rabu, 04 Juli 2007

HUKUM HUMANITER

Hukum Humaniter
OLEH : ASEP .sbd . bandung



. Hak Asasi Manusia bukan pemberian dari penguasa atau suatu rezim kekuasaan, manusia lain atau undang-undang, sehingga tidak seorangpun atau pihak apapun yang boleh merampas hak-hak yang melekat pada manusia itu. Untuk itu, memperjuangkan dan menikmati hak asasi itu merupakan kewajiban asasi yang memiliki nilai kejuangan dan pengabdian yang tinggi. Kesaksian sejarah menunjukkan bahwa munculnya konflik sosial selalu dilatarbelakangi oleh pelanggaran HAM, sehingga kemudian muncul usaha untuk melahirkan berbagai dokumen atau formulasi tentang perlindungan Hak Asasi Manusia seperti Magna Charta (1215) di Inggris. Sejarah memberi petunjuk dokumen Hak Asasi Manusia juga pernah diformulasikan dalam masyarakat Madinah (600 tahun sebelum Magna Charta) yang dinamai Piagam Madinah yang mengatur hubungan antar masyarakat yang sangat majemuk baik dari segi asal keturunan, budaya maupun agama yang dianut. Piagam itu mengikat masyarakat dengan nilai kemanusiaan yang berorientasi pada pencapaian cita-cita bersama.
Hak Asasi Manusia menyangkut eksistensi, martabat dan kehidupan dalam masyarakat. Hak Asasi Manusia merupakan konstitusi kehidupan manusia untuk dapat berinteraksi sesama manusia dan lingkungannya secara beradab. Masyarakat dan negara tidak akan bernilai dan berkembang tanpa mengakui, menghargai, melindungi dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Barangsiapa tidak mengakui Hak Asasi Manusia berarti mengingkari dirinya. Dengan demikian, permasalahan dan penegakan Hak Asasi Manusia akan selalu menggejala dalam setiap kehidupan masyarakat dan negara.
Korelasi antara pelecehan Hak Asasi Manusia dengan timbulnya chaos atau kemarahan massa juga terlihat antara lain pada Glorius Revolution di Inggris tahun 1688 yang menelurkan pengakuan terhadap hak-hak rakyat dan anggota parlemen, juga revolusi kemerdekaan di Amerika Serikat tahun 1776, begitu pula revolusi Perancis tahun 1789. Lebih lanjut dapat terlihat juga dalam revolusi dunia yaitu Perang Dunia I dan Perang Dunia II tahun 1945 yang menelorkan kesepakatan hak-hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human Rights yang terdiri dari 30 pasal di Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948.
Revolusi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 pada hakekatnya merupakan puncak perlawanan terhadap penindasan hak asasi oleh penjajah kolonial Belanda dan fascis Jepang. Pengalaman pahit bangsa Indonesia diperkosa hak asasinya oleh kaum penjajah dilukiskan dengan tinta emas oleh pendiri Republik tercinta ini dalam hak segala bangsa, dan pernyataan penghargaan terhadap peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Jadi, sejarah perjuangan Hak Asasi Manusia menunjukkan fakta-fakta bahwa munculnya revolusi sosial dan gejolak menentang dominasi negara terhadap negara lain serta gejolak sosial menentang kekuasaan yang tak terbatas atau perkosaan Hak Asasi Manusia dalam suatu negara merupakan pengejawantahan hati nurani kemanusaan untuk hidup secara bermartabat. Pada gilirannya, hasil perjuangan tersebut memerlukan jaminan bersama sehingga perlu dituangkan dalam formula piagam pernyataan, dalam konstitusi negara, undang-undang maupun peraturan lainnya, sesuai dengan luas jangkauan kebutuhan pengaturan dan relevansi sosialnya. Karena tanpa adanya jaminan pernyataan tertulis, ada kecenderungan untuk selalu terjadi pelanggaran-pelanggaran komitmen Hak Asasi Manusia. Dalam konstelasi ini terlihat adanya hubungan korelasional antara tegaknya Hak Asasi Manusia, hukum, keadilan dan demokrasi.
Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter merupakan bagian dari Fakultas Hukum UNISBA dan berkedudukan di Bandung. Meskipun merupakan bagian dari Fakultas Hukum, namun keanggotaannya bersifat terbuka sehingga pusat studi ini menampung siapapun yang berminat terhadap maslah HAM dan Hukum Humaniter.
Pusat Studi HAM dan Hukum Humaniter ini lahir sebagai salah satu wujud komitmen masyarakat akademik dalam mengeimplementasikan penegakan HAM dan Hukum Humaniter, dan upaya penghormatan HAM baik di masa maupun pada situasi konflik bersenjata.
Hal ini didorong pula pada kenyataan bahwa berbagai pelanggaran HAM yang terjadi tidak tertangani dan terus berlangsung merupakan bukti ketidakseriusan dan ketidakmauan (unable and unwilling) negara untuk mewujudkan penegakan HAM.
Sementara itu pada aspek Hukum Humaniter terlihat beberapa negara yang terlibat konflik bersenjata masih dilakukannya pemboman desa-desa, serangan yang diarahkan kepada sasaran sipil, perlakuan yang tidak baik terhapa tawanan perang. Kita sering mendengar pelanggran HAM dan Hukum Humaniter daripada penerapan dan penegakan HAM dan Hukum Humaniter, padahal HAM dan Hukum Humaniter menyediakan norma-norma yang melindungi, menghargai dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM dan Hukum Humaniter. Keduanya berusaha melindungi kehidupan, dan martabat individu walaupun dilakukan dengan cara yang berbeda.
Sorotan dan tuntutan terhadap penegakan HAM dan Hukum Humaniter dinilai belum berjalan dengan baik, sementara itu timbulnya penafsiran yang berbeda-beda dalam upaya penegkan HAM dan Hukum Humaniter tidak boleh dibiarkan berlangsung terus karena akan merugikan bangsa yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM dan Hukum Humaniter.


. Perang
Sejarah telah mencatat bahwa perang sudah ada sebelum adanya suatu Hukum yang berderajat tinggi dalam negara (Konstitusi), malah konon Perang adalah suatu inspirasi yang melahirkan tatanan bernegara yang baik dan melahirkan Hukum antar negara dan menjadi inspirasi tokoh-tokoh dunia seperti Henry Dunant untuk membentuk Organisasi Kemanusiaan se-Dunia yang sekarang kita kenal dengan sebutan Palang Merah Internasional yang berpusat di Jenewa, Swiss.
Peperangan biasanya dipicu oleh adanya perbedaan-perbedaan pendapat, pandangan (ideology), agama dan kepentingan yang bertolak belakang antar negara-negara di Dunia. Sejarah telah mencatat pula bahwa Dunia yang tua ini telah menjadi saksi bisu kearoganan dan keserakahan negara-negara yang berperang. Dunia sudah menjalani dua kali Perang Dunia dan beribu-ribu perang lainnya yang tidak kalah dahsyatnya. Mungkin ada benarnya pepatah yang berbunyi: “sejarah dunia dicatat dengan darah dan air mata”
Sekarang darah dan airmata itu tumpah ruah dan membanjiri seluruh wilayah Palestina, dimana ratusan juta jiwa anak-anak Palestina gugur sebagai syuhada dimedan pertempuran melawan argesor Zionis Israel. Pemandangan yang memilukan saya dapati ketika saya menyaksikan siaran berita Internasional beberapa hari yang lalu, dimana disebuah Mesjid di kota Beit Hanun, telah terjadi peristiwa penembakan seorang wanita Palestina oleh serdadu Israel. Ketika menyaksikan siaran berita itu hati saya meradang dan bergetar dalam hati sambil berkata: Dimana keberadaan Hukum, yang diharapkan dapat menjadi semacam “barrier” bagi pengumbaran nafsu angkara murka dari ummat manusia yang dititipi amanah di bumi ini? Ataukah memang benar, bahwa konflik antara Israel dan negara-negara Timur Tengah memang sudah merupakan skenario dari Yang Kuasa untuk berlangsung sampai dengan akhir zaman, sesuai dengan kepercayaan dalam agama yang saya anut? Tetapi, terlepas dari kepercayaan supra-natural tersebut, dari apa yang saya lihat dilayar Televisi tadi, sebagai orang yang berminat dalam kajian di bidang Hukum Internasional merasa perlu untuk menganalisa kejadian tersebut.
Hukum Humaniter
Hukum Humaniter atau lazim dikenal dengan sebutan Hukum Perang (Law of Armed Conflict), dibentuk dan diprakarsai oleh negara-negara yang bercita-cita mewujudkan adanya suatu aturan-aturan tertulis (written and legal provision) yang mengatur tata cara berperang dan mengatur juga perlindungan terhadap korban-korban konflik bersenjata. Hukum Humaniter juga dibentuk dengan suatu pengharapan yang amat besar akan adanya suatu solusi penyelesaian konflik bersenjata Internasional yang merupakan suatu gagasan yang muncul dan berkembang pesat setelah berakhirnya Perang Dunia ke II. Yang mendasari munculnya Hukum Humaniter adalah Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Jenewa Tahun 1949 dan juga Protokol Tambahan I dan II tahun 1977.
Dalam Peperangan yang melibatkan dua negara atau lebih. munculah beberapa azas yang menjadi Hukum kebiasaan Internasional yang wajib diketahui dan diterapkan dengan benar oleh negara-negara yang sedang berperang (belligerents). Azas-azas Hukum Humaniter tersebut adalah (1)Asas Kepentingan Militer, (2)Asas Non-Diskriminatif, (3) Asas Kemanusiaan dan (4) Asas Ksatria.
Dari keempat azas tersebut dalam kenyataannya dua asas yang disebut terakhir (azas Kemanusiaan dan azas Ksatria) yang paling sering dilanggar oleh negara-negara yang berperang. Begitu juga dengan konflik bersenjata yang sedang terjadi sekarang di Palestina yang melibatkan dua kubu yang saling bermusuhan satu sama lain (hostile parties) juga terdapat banyak pelanggaran-pelanggaran berat (grave breach) atas Asas-Asas Hukum Humaniter.
Pelangaran Hukum Humaniter
Dalam konflik bersenjata di timur tengah ini sama sekali tidak tercermin asas kemanusiaan (Humanity) yang menghargai dan menghormati Hak-hak dasar Kombatan (prajurit) atau Non-Kombatan (warga sipil). Apa yang dilakukan serdadu Israel sangatlah memuakkan, mereka dengan semena-mena membantai secara membabi buta ( foolhardly action ) orang-orang Palestina tanpa peduli apakah mereka itu Kombatan atau Non-kombatan, Bahkan wanita-wanita dan anak-anak pun turut menjadi korban “haus darah” Zionis Israel. Dalam Hukum Humaniter diatur bahwa dalam perang yang boleh dibunuh atau dilumpuhkan hanya objek-objek militer saja ,seperti prajurit yang membawa senjata secara terbuka (openly weapon) dan objek-objek militer lainnya boleh dihancurkan ,namun dilarang keras untuk membunuh warga sipil yang tidak aktif berperan dalam peperangan. Ini membuktikan dengan sah bahwa Zionis Israel telah melecehkan Hukum Humaniter.
Asas kedua yang dilanggar adalah Asas Kesatria (Chivalry), yang mana dalam asas ini melarang segala jenis tindakan-tindakan yang curang, tidak perlu dan tidak terhormat dalam suatu konflik bersenjata, Asas ini adalah asas yang diwariskan dari para ksatria dalam masa yang silam. Dalam suatu konflik bersenjata antara dua negara harus lah ada kejelasan status antara Kombatan (prajurit) dengan Non-Kombatan (sipil) yang dalam Hukum Humaniter dikenal dengan sebutan Prinsip perbedaan Status (distinction principle). Tapi dalam kenyataannya sekarang di Palestina asas tersebut tidak diimplementasikan dengan benar oleh kedua negara.
Kedua negara ini masih saja melakukan serangan-serangan yang tidak perlu kepada Non-Kombatan dan bahkan banyak penyalah gunaan status, dimana orang sipil juga bisa ikut berperang. Banyak kasus ditemukan dalam konflik bersenjata antara Israel dan Palestina adanya pasukan-pasukan militan yang tidak jelas statusnya, apakah mereka warga sipil yang harus dilindungi ataukah tentara yang harus dibunuh. perang). Bahkan banyak kelompok-kelompok militan di Palestina yang menggunakan wanita dan anak-anak sebagai anggota militan mereka yang berarti mereka memiliki status ganda sebagai Kombatan dan juga sebagai warga sipil. Hal inilah yang bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap asas-asas Hukum Humaniter. Tetapi memang dapat dimaklumi mengapa Palestina berbuat demikian, sebab semua itu dapat dianggap sebagai sebuah kompensasi dari kurangnya jumlah (kuantitas) prajurit Palestina dan kurangnya persenjataan canggih yang mereka miliki.
Peperangan Israel dengan Palestina bisa ditamsilkan sebagai perseteruan antara “Goliath dan David” yaitu perang yang berat sebelah (unfair war). Di sini penting kiranya apabila dalam Hukum Humaniter juga ditambahkan satu asas lagi yaitu Asas Keadilan, yang menekankan kepada adanya keseimbangan penggunaan sumber daya perang diantara dua kubu yang berseteru, guna menghindari suatu keadaan di mana “Si kuat dengan mudah menerkam si lemah”.
Peperangan antara Palestina dan Israel barangkali juga dapat disebut sebagai perang adil (fair war) yang dikenal di Eropa pada reinaissance, dimana perang merupakan bentuk hak bela diri (right to defence) dari negara yang merasa teraniaya. Dalam hal ini bentuk- bentuk kekerasan diizinkan sebagai suatu cara untuk menjamin dan mempertahankan hak suatu negara manakala cara lainnya dianggap sudah tidak efektif.
Hukum Humaniter adalah hukum yang bersifat deklarasi wajib (mandatory declaration) bagi negara-negara yang meratifikasi konvensi-konvensi tentang Hukum Humaniter (Konvensi Deen Haag dan Konvensi Jenewa). Setiap negara yang sudah meratifikasi konvensi tersebut berarti secara hukum sudah terikat oleh semua persyaratan-persyaratan dan aturan-aturan yang digariskan oleh Hukum Humaniter. Inilah yang sering menjadi alasan bagi negara-negara yang melanggar Hukum Humaniter untuk berkilah dari kesalahan. Mereka beralasan tidak melanggar Hukum Humaniter karena negara mereka belum meratifikasi Hukum tersebut ,jadi mereka tidak terikat secara hukum (legal binding).
Walaupun demikian, reasoning seperti diatas terkesan dipaksakan, karena keterikatan sebenarnya tidak hanya atas nama legalitas, tetapi seharusnya para pelanggar hukum humaniter ini juga memiliki keterikatan berdasarkan hati nurani (conscience binding) yang selayaknya dimiliki oleh negara yang berperikemanusian. Pertanyaan mendasar yang perlu kita renungi untuk mengakhiri tulisan ini adalah: Kapankah kita bisa berharap getaran hati nurani bisa dirasakan oleh para pemimpin dari negara-negara yang sedang berperang?

Justice delayed is Justice denied
Serangan Israel ke Lebanon yang dimulai sejak 12 Juli 2006 hingga hari ini telah banyak menimbulkan korban jiwa terutama di kalangan masyarakat sipil. Meski mendapat kecaman keras dari seluruh penjuru dunia, Israel semakin menunjukkan keangkuhannya dengan terus masuk menyerang ke wilayah-wilayah di Lebanon. Salah satu peristiwa yang mendapat kecaman keras dunia di antaranya adalah tragedi Qana yang membuat 56 warga sipil 34 di antaranya adalah anak-anak, gugur.
Selain menimbulkan korban jiwa, serangan Israel juga merusak objek-objek sipil seperti jalan raya, gedung-gedung apartemen, jembatan, serta wilayah perumahan di desa-desa di Lebanon. Warga sipil dan objek-objek non-militer, berdasarkan hukum humaniter internasional khususnya Konvensi Jenewa adalah bagian yang harus dilindungi dan tidak diperbolehkan untuk diserang saat terjadi konflik bersenjata. Pelanggaran terhadapnya merupakan kejahatan perang, yang kemudian berdasarkan Statuta Roma diklasifikasikan sebagai kejahatan paling serius.
Louise Arbour, komisioner Komisi HAM PBB menyatakan operasi militer Israel bisa dipertimbangkan sebagai kejahatan perang di mana para pelakunya memiliki tanggung jawab personal secara pidana. Senada dengan apa yang dinyatakan Arbour, Human Rights Watch menyatakan bahwa serangan brutal di Lebanon itu, kemungkinan dapat membuat Israel dipersalahkan atas kejahatan perang.
Dugaan telah terjadinya kejahatan perang dalam krisis Lebanon bukanlah semata-mata permasalahan di antara Israel, Hizbullah, dan Lebanon. Kejahatan perang adalah salah satu bentuk kejahatan yang merupakan hostis humanis generis atau musuh seluruh umat manusia. Oleh karena itu, sudah menjadi tugas dan kewajiban seluruh umat manusia untuk menyelesaikan permasalahan ini dan menuntut pelaku kejahatan perang untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Penuntutan dan penghukuman terhadap para pelaku kejahatan perang adalah sangat penting.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah melalui cara apa yang dapat dilakukan untuk dapat menuntut dan menghukum para pelaku kejahatan perang, khususnya para komando pasukan Israel? Salah satu perdebatan yang kemudian muncul adalah dengan mencoba menggiring para pelaku tersebut ke International Criminal Court yang bermarkas di Den Haag, Belanda.

Karakter ICC
International Criminal Court (ICC) adalah lembaga pengadilan internasional yang dibentuk berdasarkan Statuta Roma. Lembaga ini bersifat permanen dan memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi, penuntutan, dan penghukuman terhadap beberapa kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan paling serius. Kejahatan itu antara lain mencakup genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
Namun tidak serta-merta suatu kasus kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian komunitas internasional secara keseluruhan dapat dibawa ke ICC. Ada batasan-batasan dan prakondisi tertentu yang sangat ketat hingga suatu kasus dapat diperiksa dan diadili oleh ICC. Untuk kasus dugaaan terjadinya kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel di Lebanon, setidaknya ada beberapa hambatan untuk dapat langsung menyerahkan kasus tersebut kepada jurisdiksi ICC,
Pertama, ICC menganut sebuah prinsip mendasar yakni prinsip komplementer yang diatur dalam pasal 1 dari Statuta Roma. ICC tidak mengantikan kedudukan pengadilan nasional untuk melakukan penuntutan. ICC hanya akan melakukan investigasi dan penuntutan bila pengadilan nasional negara yang bersangkutan unwilling atau unable dalam melakukan penuntutan terhadap pelaku kejahatan.
Jika dikaitkan dengan dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel di Lebanon, kemungkinannya amat tipis untuk mengadili para penjahat perang Israel melalui pengadilan nasionalnya. Hal ini dikarenakan suatu kejahatan perang biasanya didukung oleh kebijakan politik dalam negeri di mana kemudian hukum nasional menjadi tidak berdaya, alih-alih malah melindungi para pelaku tersebut. Andaikata ternyata nantinya ada pengadilan nasional Israel yang memeriksa dan mengadili pelaku kejahatan perang, maka kemungkinan besar pelaku-pelaku itu hanya pelaku lapangan. Sedangkan pelaku di tingkat komando tidak akan tersentuh.
Kedua, bahwa baik Israel maupun Lebanon bukanlah negara yang meratifikasi Statuta Roma. Padahal salah satu prakondisi utama yang diperlukan sehingga ICC memiliki jurisdiksi untuk melakukan investigasi dan penuntutan adalah bahwa negara-negara yang bersangkutan harus meratifikasi Statuta Roma. Dengan demikian, maka ICC tidak memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi dan penuntutan terhadap dugaan telah terjadinya kejahatan perang di Lebanon.
Hal ini tentu memiliki pengecualian. Yakni ketika Lebanon bersedia melakukan deklarasi yang menyatakan menerima jurisdiksi ICC untuk menginvestigasi dan menuntut terjadinya kejahatan perang di wilayah teritorialnya. Ini diatur dalam pasal 12 (3) Statuta Roma. Tentu saja dalam hal ini Lebanon harus menyiapkan segala dokumen atau bukti yang kuat tentang terjadinya kejahatan perang di wilayahnya untuk kemudian diserahkan kepada penuntut ICC untuk ditindaklanjuti. Satu lagi pengecualian terhadap prakondisi utama tersebut adalah ketika Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk memasukkan kasus yang terjadi di Lebanon kepada penuntut ICC.

Dewan Keamanan PBB (DK PBB) berdasarkan Bab 7 Piagam PBB memiliki tanggung jawab untuk melakukan tindakan terhadap setiap ancaman yang dapat mengganggu perdamaian dan keamanan internasional. Karena itu DK PBB memiliki kewenangan berdasar ketentuan pasal 13(b) Statuta Roma untuk me-refer kasus kejahatan serius kepada penuntut ICC dengan menyimpangi prakondisi utama yang diperlukan ICC untuk melaksanakan jurisdiksinya.
Untuk kasus dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel di wilayah Lebanon, tampaknya DK PBB tidak akan menempuh cara ini. Hal ini karena Amerika Serikat dipastikan akan melakukan veto untuk melindungi sekutu abadinya, yakni Israel, dari upaya-upaya untuk mengiringnya ke ICC. Amerika Serikat juga bukan merupakan negara yang meratifikasi Statuta Roma. Malahan Amerika Serikat menentang pendirian ICC, terbukti dengan upayanya membuat Billateral Immunity Agreements (BIAs) dengan negara-negara peratifikasi Statuta Roma. Karena itu setiap warga negara Amerika Serikat terbebas dari kemungkinan diajukan ke ICC.
Hal paling utama yang perlu diperhatikan dalam konflik di Lebanon adalah bahwa kejahatan perang adalah sesuatu yang melukai nilai-nilai kemanusian, perdamaian dan keamanan internasional. Pelaku harus dituntut sesuai dengan perbuatannya. Rantai impunitas bagi pelaku kejahatan perang harus diputus supaya di masa mendatang perbuatan serupa tidak akan terjadi lagi. Dengan demikian diharapkan keadilan bagi korban pelaku kejahatan perang tidak akan tertunda.

Deklarasi Universal HAM dan
Konvensi Internasional
Hak asasi manusia (HAM) kini telah menjadi elemen yang penting dalam percaturan politik internasional. Berakhirnya perang dingin pada dekade 1990-an telah mencuat isu HAM ke permukaan sehingga menjadi perhatian utama masyarakat internasional.
Sebagai elemen penting dalam percaturan politik internasional, masalah HAM sebetulnya bukan isu baru. Sejak abad 10 pada masa Yunani – Romawi dulu, HAM sudah menjadi perbincangan para ahli pikir dan filosof. Bahkan banyak unsur perdebatan lama seperti masalah hak dan kewajiban, hak individu atau kolektif, universalitas dan partikularitas, dan sebagainya berulang muncul kembali sebagai agenda perdebatan menjelang dan selama Konferensi HAM Sedunia di Wina pada tahun 1993.
Piagam PBB menempatkan HAM sebagai salah satu tujuannya dan bahwa kerjasama internasional perlu dimajukan untuk meningkatkan perlindungan hak asasi. Paragraf 2 Pembukaan Piagam menyatakan antara lain “…to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women ...” Sedangkan Pasal 1 ayat 3 Piagam lebih menekankan tujuannya “to achieve international cooperation …and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion”.

Deklarasi Universal HAM
Menindaklanjuti semangat Piagam tersebut, maka pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB menerima dan memproklamirkan Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang berisikan 30 Pasal. Konsekuensinya, setiap negara anggota PBB baik sendiri maupun bersama-sama wajib memajukan HAM. Negara tidak dapat mengecualikan diri, apalagi berlindung dibalik prinsip kedaulatan atau yurisdiksi intern negara. Dalam kenyataannya pengertian bahwa pelanggaran berat HAM (gross violation of human rights) yang terjadu di suatu negara merupakan keprihatinan internasional dan tidak lagi merupakan masalah domestik suatu negara, sudah semakin diterima luas sebagai prinsip yang universal.
Kemajuan teknologi terutama pemberitaan jelas ikut mendorong HAM menjadi isu global. Kualitas dan kecepatan penyampaian berita melalui fax atau internet misalnya, yang dapat memuat gambar, dapat lebih mendramatisasi suatu peristiwa ketimbang fax atau telex. Batas fisik negara dan urusan tetangga pun kian menjadi kabur karena meningkatnya interdependency. Bola dunia seperti menciut menjadi “global village” dan kita hidup dalam suatu rukun tetangga global. Pelanggaran HAM yang dulunya merupakan isu domestik, kini sudah menjadi “international concern”.
Dengan demikian HAM merupakan komponen yang semakin penting dalam politik luar negeri suatu negara, sebab arus dua arah dan keterkaitan antara sisi domestik dan internasional begitu erat. Masalah HAM terkait erat dengan upaya peningkatan citra suatu bangsa sebagai bagian dari warga bangsa-bangsa yang beradab. Lebih dari itu, inter-dependency atau ketergantungan antara negara sebagai ciri era globalisasi telah menjadikan masalah HAM dikaitkan dengan masalah lainnya, seperti kerjasama ekonomi, perdagangan, militer dan sebagainya. Dengan kata lain, HAM merupakan komponen penting daripada kepentingan nasional yang perlu dimajukan oleh politik luar negeri suatu negara, baik negara maju ataupun negara berkembang, walaupun mungkin dilihat dari kacamata dan kepentingan yang berbeda.
Internasionalisasi isu HAM pada dekade akhir abad yang lalu menyusul runtuhnya tembok Berlin pada November 1989, mendorong banyak negara maju menata kembali kebijakan HAM sebagai komponen politik luar negeri. Lima puluh empat negara maju anggota Konperensi Keamanan dan Kerjasama (CSCE sekarang OSCE) sesuai Perjanjian Paris 1990, menjadikan HAM sebagai salah satu dari tiga pilar dari ideology baru mereka, yang bertumpukan pada market/competitive economy, pluralistic democracy dan human rights. Tiadanya musuh bersama mendorong mereka menjadikan HAM sebagai senjata ofensif daripada diplomasi dan upaya hegemoni mereka.
Kepentingan semasa perang dingin, memaksa suatu blok politik mencari dukungan atau simpati negara-negara berkembang. Sebaliknya, berakhirnya blok politik, yang menyatukan pandangan mereka tentang HAM, memudahkan negara-negara berkembang menjadi obyek sorotan atau kajian dari sisi HAM. Isu HAM lalu tidak lagi menjadi isu Timur – Barat, tetapi menjadi semacam isu Utara – Selatan dan Barat – Timur.
Isu HAM telah mendapatkan momentumnya kembali yaitu dengan diadakannya Konperensi Dunia Hak Asasi Manusia (KD-HAM) Kedua di Wina, Austria pada tanggal 14-25 Juni 1993, setelah KD-HAM Pertama pada Desember 1948 di Paris, Perancis. KD-HAM Kedua ini menghasilkan Deklarasi Wina tentang Program Aksi (Vienna Declaration on Action Plan). Selama konperensi berlangsung telah terjadi perdebatan sengit yang membahas apakah nilai HAM tersebut bersifat universal atau tidak. Negara-negara blok barat/blok utara atau negara maju menyatakan bahwa nilai HAM tidak bersifat universal, karena nilai HAM tersebut dipengaruhi oleh sosial dan budaya di setiap negara. Dalam kaitan ini perlu dicatat bahwa pada saat berlangsungnya KTT APEC ke IV di Kuala Lumpur, Dr. Mahatir Muhammad, Perdana Menteri Malaysia, menyatakan bahwa Deklarasi Universal HAM 1948 sudah saatnya direvisi untuk mengakomodasi kepentingan negara-negara berkembang yang pada saat diterimanya Deklarasi tersebut belum menjadi negara. INDONESIA DAN HAK
ASASIMANUSIA
Pemerintahan Soekarno
Bagi Indonesia, sebelum Deklarasi HAM 1948 tersebut diterima oleh Majelis Umum PBB, masalah HAM ini bukanlah hal baru. Dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) telah muncul perdebatan untuk memasukkan prinsip-prinsip HAM ke dalam UUD 1945. Perdebatan tersebut terpolarisasi dalam dua kubu, yaitu kubu Hatta dan kubu Sukarno. Kubu Hatta menyarankan agar prinsip-prinsip HAM dimasukkan kedalam UUD 1945. Sedangkan kubu Sukarno menolak dengan alas an bahwa apabila dimasukkan, maka akan bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berasaskan “gotong royong”. Sedangkan alas an kubu Hatta dengan memasukkan prinsip-prinsip HAM tersebut kedalam UUD 1945 adalah untuk memberikan jaminan kepada individu atas hak-haknya sebagai bagian dari masyarakat yang bersifat kolektif di Indonesia. Dalam perdebatan tersebut diambil jalan tengah, yaitu memasukkan hak-hak warga negara seperti yang tercantum dalam pasal-pasal 27, 28, 29, 31 dan 34 UUD’45.
Sewaktu Indonesia memberlakukan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) antara tahun 1948 – 1950, ketentuan-ketentuan HAM juga telah dimasukkan ke dalamnya. Begitu pula sewaktu Indonesia memberlakukan Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) antara tahun 1950-1959, ketentuan-ketentuan HAM pun diatur oleh UUDS tersebut. Malahan salah satu keistimewaan UUDS tersebut mencantumkan hak untuk melakukan demonstrasi dan mogok kerja oleh para buruh/pekerja sebagai alat memperjuangkan hak-haknya terhadap majikannya (pasal 21). Namun UUDS tidak jadi diberlakukan karena pada tanggal 5 Juli 1959 Sukarno kembali memberlakukan UUD’45.
Di masa rezim Soekarno, pelanggaran terhadap HAM secara signifikan banyak sekali terjadi. Hal itu dimungkinkan berdasarkan Penpres 11/1963 tentang subversi. Pada prinsipnya Penpres 11/1963 ini telah membatasi segala gerak dan kreasi seseorang dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari. Bergantinya rezim yang berkuasa di Indonesia dari Soekarno ke Soeharto telah memberikan secercah harapan untuk penegakan dan penghormatan HAM. Hal tersebut dapat terlihat dalam Keputusan Pimpinan MPRS No.241B/1967, tanggal 6 Maret 1967 tentang hasil kerja Panitia Ad Hoc yaitu Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia dan Hak serta Kewajiban Warga Negara. Panitia Ad Hoc tersebut dibentuk berdasarkan TAP XIV/MPRS/1966. Namun secercah harapan tersebut tidak menjadi kenyataan karena rancangan HAM tersebut nasibnya sama dengan rancangan UUD baru yang dipersiapkan oleh Dewan Konstituante, yaitu tidak jadi dibahas pada Sidang Umum MPRS tahun 1968, dengan alasan bahwa Sidang Umum lebih mengutamakan pembahasan masalah yang berkaitan dengan rehabilitasi dan konsolidasi nasional setelah terjadinya pemberontakan G 30S/PKI.
Di masa rezim Soekarno hanya satu konvensi HAM yang disahkan, yaitu: Konvensi Hak-hak Politik Wanita (Convention on the Political Rights of Women), dengan UU No.68/1958. Sedangkan konvensi yang tergolong dalam kategori HAM dan telah disahkan adalah: (a). Konvensi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) seperti Konvensi ILO No. 98 tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama (ILO Convention No. 98 on Rights to Organize and Collective Bargaining), dengan UU No. 18/1956; dan (b). Konvensi ILO No.100 tentang Pengupahan Bagi Laki-laki dan Perempuan Untuk Pekerjaan yang sama Nilainya (ILO Convention No. 100 on Equal Remuneration for Men and Women Workers for Work of Equal Value), dengan UU No. 80/1957.
Pemerintahan Soeharto
Di masa rezim Soeharto kondisi penghormatan dan pemajuan HAM boleh dikatakan berjalan ditempat, karena tidak ada hal-hal signifikan yang terjadi, kecuali telah disahkannya 3 (tiga) Konvensi HAM, yaitu:
1. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), dengan UU No. 7/1984;
2. Konvensi Internasional Menentang Apartheid Dalam Olah Raga (International Convention against Apartheid in Sport), dengan Keppres No. 48/1993;
3. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), dengan Keppres No. 36/1990

Dalam prakteknya, pada saat peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto telah terjadi pelanggaran HAM besar-besaran, yaitu banyak orang dituduh terlibat G. 30S/PKI (tersangkut masalah politik) yang terbunuh tanpa proses peradilan. Nampaknya, di masa rezim Soeharto penegakan dan penghormatan HAM dikesampingkan dengan dalih trilogy pembangunan, yaitu untuk tujuan “stabilitas nasional; pemerataan ekonomi; dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi”.

Pemerintahan B.J . Habibie

Pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie yang berlangsung selama 15 bulan, penghormatan dan pemajuan HAM telah menemukan momentumnya dengan Ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan disahkannya sejumlah konvensi HAM, yaitu:

1. Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam lainnya (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), dengan UU. No.5/1999;
2. Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination), dengan No. 29/1999;
3. Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi (ILO Convention No. 87 on Freedom of Association and Protection of the Rights to Organize), dengan Keppres 83/1998
4. Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa (ILO Convention No. 105 on the Abolition of Forced Labour), dengan UU No. 19/1999;
5. Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan (ILO Convention No. 111 on Disrimination in Respect of Employment and Occupation), dengan UU No.21/1999;
6. Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja (ILO Convention No. 138 on Minimum Age for Admission to Employment), dengan UU No. 20/1999.

Selain itu sebagai cermin dari kesungguhan untuk memajukan dan menghormati HAM pada masa pemerintahan B.J. Habibie, DPR, DPR telah menyetujui sejumlah Undang-undang nasional, yaitu:

1. UU No. 8/1998 tentang Kebebasan Menyatakan pendapat;
2. UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia;
3. UU No. 2/1999 tentang Partai Politik;
4. UU No. 3/1999 tentang Pemilihan Umum;
5. UU No. 26/1999 tentang Pencabutan UU/Penpres No.11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi;
6. UU No. 35/1999 tentang Perubahan atas UU No. 14/1970 tentang Kehakiman yang intinya mengalihkan penanganan masalah kehakiman dari Departemen Kehakiman kepada Mahkamah Agung. Dengan adanya perubahan UU tersebut, diharapkan lembaga peradilan dapat terbebas dari campur tangan pemerintah. Hal ini juga sesuai dengan prinsip-prinsip trias politica yang diakui dalam konsep HAM.

Hal terpenting yang telah dilakukan oleh Indonesia adalah pembentukan “Komisi Nasional Hak Asasi Nasional” (Komnas HAM) dengan Keppres No. 50/1993. Keppres tersebut telah diperkuat oleh UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Tujuan dibentuknya Komnas HAM adalah untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, serta Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta meningkatkan perlindungan dan pengakuan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan kemampuannya untuk berpartisipasi dalam berbagai kehidupan (Pasal 75 UU No. 39/1999).

Selain itu, pada tanggal 15 Agustus 1998, Presiden B.J. Habibie telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 1998 – 2003, melalui Keppres No. 129/1998. Maksud dan tujuan RAN-HAM adalah untuk memberikan jaminan bagi peningkatan, pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia di Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat istiadat, budaya dan agama bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pelaksanaan RAN-HAM dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dalam suatu program 5 tahun yang dapat ditinjau dan disempurnakan berdasarkan skala prioritas. RAN-HAM tersebut mengikutsertakan seluruh departemen/lembaga terkait langsung dengan pelaksanaan HAM dan dikoordinasikan oleh Departemen Luar Negeri. Untuk mencapai maksud dan tujuan RAN-HAM tersebut, didasarkan pada 4 pilar yaitu:

1. Persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang hak asasi manusia;
2. Diseminasi informasi dan pendidikan di bidang hak asasi manusia;
3. Penentuan skala prioritas internasional di bidang hak asasi manusia ;
4. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang hak asasi manusia yang telah disahkan, dan melakukan harmonisasi dengan perundang-undangan nasional.

Pemerintahan Abdurrachman Wahid

Pada masa pemerintahan Abdurrachman Wahid, upaya pemajuan dan perlindungan HAM lebih ditingkatkan dan mendapat perhatian cukup serius. Hal ini dapat dilihat dari upaya menyempurnakan RAN-HAM yang dilakukan oleh Departemen Luar Negeri sebagai koordinator RAN-HAM bekerjasama dengan departemen/lembaga/institusi terkait lainnya, dan pembentukan lembaga baru Menteri Negara Urusan HAM (Meneg HAM) yang berdasarkan hasil reshuffle kabinet bulan Agustus 2000 berada dibawah Departemen Kehakiman dan HAM. Terbentuknya Meneg-HAM dalam Kabinet Persatuan Nasional telah memunculkan nuansa baru dalam pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Berkenaan dengan hal ini, maka perlu diadakan perubahan seperlunya atas Keppres No. 129/1998 tentang RAN-HAM yaitu adanya pembagian tugas dan koordinasi antara Departemen Kehakiman dan HAM dengan Departemen Luar Negeri dalam pelaksanaan HAM di Indonesia.

Selain itu, untuk saat ini ada dua konvensi HAM yang sedang dalam proses pengesahan oleh Pemri, yaitu:

1. International Covenant on Civil and Political Rights and Optional Protocol to the Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
2. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights and Optional Protocol to International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights (ICESCR)

Peradilan HAM di Indonesia

Sebagaimana diketahui, pelanggaran HAM telah banyak terjadi di Indonesia mulai dari yang sederhana sampai pada pelanggaran yang berat. Untuk pelanggaran yang sifatnya sederhana, dapat diselesaikan melalui mediasi atau pihak ketiga. Sedangkan terhadap Pelanggaran HAM yang berat, sesuai dengan Pasal 104 UU 39/1999, perlu dibentuk pengadilan HAM yang berada di lingkungan peradilan umum. Menurut UU No.39/1999, pengadilan HAM tersebut harus dibentuk dalam jangka waktu paling lama 4 tahun, dan sebelum pengadilan HAM tersebut terbentuk maka kasus-kasus pelanggaran HAM berat diadili oleh pengadilan umum yang berwenang.

Mengingat semakin kuatnya desakan agar pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat TNI Dan sipil dapat diadili, maka Pemerintahan Presiden B.J. Habibie menggunakan hak konstitusionalnya berdasarkan pasal 22 UUD 1945 menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1/1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan terhitung mulai tanggal 8 Oktober 1999 dinyatakan berlaku. Secara tegas Perpu ini telah menetapkan jenis-jenis pelanggaran HAM yang berat dan bagi para pelakunya harus dihukum/pidana penjara kalau terbukti secara sah dan meyakinkan oleh pengadilan HAM. Pelanggaran HAM yang dapat dihukum menurut Perpu tersebut meliputi pemusnahan ras (genocide); pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing); penghilangan orang secara paksa; perbudakan; diskriminasi yang dilakukan secara sistematis; dan penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian walaupun Indonesia belum menjadi pihak pada beberapa Konvensi utama HAM, namun prinsip-prinsip yang dikandung dalam ketentuan Konvensi-konvensi HAM itu telah diakui dan dapat menjadi hukum positif Indonesia melalui pemberlakuan Perpu No. 1/1999 tersebut.

Sebagai catatan, menurut prinsip-prinsip universal peradilan HAM, terdapat perbedaan yang jelas dalam pertanggungan jawab antara pelanggaran HAM dan pertanggungan jawab dalam tindak pidana biasa. Pertanggungan jawab pelanggaran HAM syaratnya harus dilakukan oleh pejabat publik (militer atau sipil) bersama orang biasa, dan dilakukan atas nama negara atau pemerintah. Bagi si pelanggar, walaupun menjalankan tugas, dia diminta bertanggung jawab secara pribadi (personal responsibility). Selain itu, penuntutan bagi si pelanggar HAM yang berat tidak dikenal azas kadaluarsa seperti yang dikenal dalam tindak pidana biasa. Sedangkan tanggung jawab negara adalah memberikan ganti rugi, restitusi dan rehabilitasi fisik maupun mental pada korban dan /atau pada ahli waris korban. Dalam pertanggungan jawab tindak pidana biasa, si pelaku diminta pertanggungan jawab secara pribadi, namun tidak ada ganti rugi, restitusi dan rehabilitasi.

Keberadaan Perpu ini ditentang oleh banyak pihak yang menolaknya, termasuk pemerintahan Gus Dur saat ini. Alasan penolakan tersebut adalah bahwa Perpu dimaksud sangat jauh dari sempurna dan tidak bisa mengadili pelanggaran HAM yang telah terjadi sebelum Perpu tersebut diundangkan (retroaktif) seperti pelanggaran HAM di Aceh dan penculikan aktivis mahasiswa. Untuk itu Pemerintah melalui Menteri Hukum dan Perundang-Undangan berharap bahwa DPR akan menolak Perpu tersebut dan menggantinya dengan UU. Saat ini pemerintah telah menyiapkan RUU pengganti Perpu. Dalam rancangan RUU tersebut, masih ada masalah yang cukup kontroversial, yaitu:
a. Bentuk pengadilan HAM yang diperlukan, apakah permanen atau adhoc.
b. Peradilan HAM tersebut bersifat retroaktif atau tidak. Apabila retroaktif, berapa tahun masa surutnya.
c. Perlunya dimasukkan rumusan-rumusan baru dibidang HAM maupun hukum humaniter yang muncul dalam kasus-kasus pelanggaran HAM internasional.

Peradilan HAM Internasional

Saat ini PBB sedang berupaya menyelesaikan “Rules of Procedure” atau “Hukum Acara” bagi berfungsinya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) yang Statuta pembentukannya baru disahkan melalui Konferensi Internasional di Roma, Italia, pada bulan Juni 1998. Yurisdiksi ICC berlaku atas kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kejahatan humaniter lainnya, “genocide” (pemusnahan ras), kejahatan perang, serta agresi. Negara-negara anggota PBB tidak secara otomatis terikat oleh yurisdiksi ICC, tetapi melalui suatu pernyataan mengikatkan diri dan menjadi “pihak” pada Statuta ICC. Kedudukan ICC adalah di Den Haag, Belanda, namun sidang-sidangnya dapat diadakan di negara lain sesuai dengan kebutuhan.

Peradilan internasional HAM lainnya yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB di bawah Bab VII Piagam PBB, untuk mengadili kejahatan humaniter adalah sebagai berikut :
a. Mahkamah Internasional untuk Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia) yang dibentuk pada tahun 1993 dan berkedudukan di Den Haag, Belanda
b. Mahkamah Internasioanl untuk Rwanda (International Tribunal for Rwanda) yang dibentuk pada tahun 1994 dan berkedudukan di Arusha, Tanzania, dan di Kigali, Rwanda.
KESIMPULAN
Sesungguhnya hak-hak asasi manusia bukan merupakan hal yang asing bagi bangsa Indonesia. Perjuangan melepaskan diri dari belenggu penjajah asing selama beratus-ratus tahun adalah perjuangan mewujudkan hak penentuan nasib sendiri sebagai hak asasi manusia yang paling mendasar. Komitmen Indonesia dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia di seluruh wilayah Indonesia bersumber pada Pancasila, khususnya sila kedua yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta pasal-pasal yang relevan dalam UUD 1945 yang dirumuskan sebelum dicanangkannya Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948. Di samping itu, nilai-nilai adat istiadat, budaya dan agama bangsa Indonesia juga menjadi sumber komitmen bangsa Indonesia dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.

Upaya pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia di Indonesia dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip kesatupaduan, keseimbangan dan pengakuan atas kondisi nasional. Prinsip kesatupaduan berarti bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan hak pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan baik dalam penerapan, pemantauan maupun dalam penilaian pelaksanaannya. Prinsip keseimbangan mengandung pengertian bahwa diantara hak-hak asasi manusia perorangan dan kolektif serta tanggung jawab perorangan terhadap masyarakat dan bangsa memerlukan keseimbangan dan keselarasan. Hal ini sesuai dengan kodrat manusia sebagai mahluk sebagai individual dan mahluk sosial. Keseimbangan dan keselarasan antara kebebasan dan tanggung jawab merupakan faktor penting dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.

Diakui bahwa hak-hak asasi manusia bersifat universal dan masyarakat internasional juga telah mengakui dan menyepakati bahwa pelaksanaannya merupakan wewenang dan tanggung jawab setiap pemerintah negara dengan memperhatikan sepenuhnya keanekaragaman tata nilai, sejarah, kebudayaan, sistem politik, tingkat pertumbuhan sosial dan ekonomi serta faktor-faktor lain yang dimiliki bangsa yang bersangkutan.

Indonesia menyambut baik kerjasama internasional dalam upaya pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia di seluruh atau di setiap negara termasuk Indonesia. Kerjasama internasional tersebut harus mengacu pada prinsip-prinsip dan tujuan-tujan Piagam PBB khususnya dalam pasal 1 ayat 3, pasal 55 dan 56 Piagam PBB. Kerjasama internasional di bidang hak-hak asasi manusia juga harus berdasarkan pada prinsip-prinsip saling menghormati, persamaan derajat dan hubungan baik antar bangsa serta hukum internasional yang berlaku dengan memperhatikan kebutuhan nasional dan menghormati ketentuan-ketentuan nasional yang berlaku.

Upaya pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia bukanlah hal yang mudah dan dapat dilakukan dalam waktu sekejap, akan tetapi merupakan suatu proses yang panjang seperti halnya proses pembangunan itu sendiri. Karena itu upaya tersebut perlu dilakukan secara terus menerus, berkelanjutan dan terpadu oleh semua pihak yakni pemerintah, organisasi-organisasi sosial politik dan kemasyarakatan maupun berbagai lembaga-lembaga swadaya kemasyarakatan serta semua kalangan dan lapisan masyarakat dan warga negara Indonesia senantiasa menyambut baik uluran bantuan bilateral, regional maupun internasional dalam memperkuat kemampuan nasional guna melaksanakan program pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, sesuai dengan semangat kerjasama internasional yang digariskan oleh Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta prinsip saling menghormati dan hubungan baik antar negara.

Komitmen Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia antara lain telah ditunjukkan dengan pembentukan Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia pada tahun 1993. Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia tersebut juga dibentuk sesuai dengan keinginan dan kesepakatan masyarakat internasional pada Konferensi Hak-hak Asasi Manusia Sedunia Kedua di Wina pada tahun 1993 yang secara konsensus mengesahkan Deklarasi dan Program Aksi Wina.

Sesuai dengan saran yang tertuang dalam Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993 serta hasil Lokakarya Nasional HAM II yang diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia, Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia dan PBB pada tanggal 24-26 Oktober 1994, Indonesia juga telah merumuskan suatu Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003 yang memuat langkah-langkah nyata yang akan dilakukan pada tingkat nasional dalam kurun waktu 5 tahun mendatang. Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia secara sistematis dan terpadu dengan tetap mengacu kepada butir-butir pedoman yang tertuang dalam Kebijaksanaan Pembangunan Lima Tahun Ketujuh dari Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara diharapkan akan semakin memperkuat landasan ke arah pemantapan budaya penghormatan hak-hak asasi manusia dan pada akhirnya akan memperkokoh sendi-sendi masyarakat Indonesia yang adil makmur dan sejahtera sesuai peri keadilan, kebenaran dan hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk lebih memperkuat komitmen Indonesia terhadap masalah HAM, MPR-RI dalam Sidang Tahunannya pada bulan Agustus 2000 telah melakukan Perubahan Kedua UUD 1945 dengan menambahkan satu bab yaitu Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Mengantisipasi perkembangan pemajuan dan penghormatan HAM selama ini, Indonesi sebenarnya sudah berada pada jalur (track) yang benar dari segi perangkat lunak (perundang-undangan), namun yang menjadi masalah sekarang adalah peningkatan kualitas perangkat kerasnya seperti sumber daya manusia di berbagai lapisan masyarakat dan pemberdayaan (empowerment) lembaga-lembaga terkait langsung dengan HAM. Selain itu jug perlu diperhatikan bahwa proses pengesahan konvensi-konvensi internasional HAM harus diikuti dengan upaya-upaya pelaksanaannya secara nasional, yang meliputi penyusunan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya agar ketentuan-ketentuan konvensi HAM yang merupakan norma hukum internasional dapat dilaksanakan di Indonesia. Selanjutnya juga perlu upaya sosialisasi (dissemination) kepada masyarakat dari berbagai kalangan untuk meningkatkan kesadaran terhadap penghormatan dan pemajuan HAM. Semua upaya ini sebenarnya telah dituangkan dalam RAN-HAM yang saat sedang disempurnakan, namun realisasinya perlu didukung oleh kemauan dan komitmen dari berbagai pihak. Hal ini sangat penting, karena tanpa memperhatikan masalah-masalah tersebut maka upaya-upaya yang sedang dilakukan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Diharapkan pelatihan Monitoring dan Evaluasi Ha-hak Anak bagi Anggota Pokja Pemantauan dan Evaluasi HAM yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Urusan HAM (Departemen Kehakiman dan HAM) ini merupakan suatu upaya ke arah tersebut

HUKUM HUMANITER

Hukum Humaniter
OLEH : ASEP .sbd . bandung

. Hak Asasi Manusia bukan pemberian dari penguasa atau suatu rezim kekuasaan, manusia lain atau undang-undang, sehingga tidak seorangpun atau pihak apapun yang boleh merampas hak-hak yang melekat pada manusia itu. Untuk itu, memperjuangkan dan menikmati hak asasi itu merupakan kewajiban asasi yang memiliki nilai kejuangan dan pengabdian yang tinggi. Kesaksian sejarah menunjukkan bahwa munculnya konflik sosial selalu dilatarbelakangi oleh pelanggaran HAM, sehingga kemudian muncul usaha untuk melahirkan berbagai dokumen atau formulasi tentang perlindungan Hak Asasi Manusia seperti Magna Charta (1215) di Inggris. Sejarah memberi petunjuk dokumen Hak Asasi Manusia juga pernah diformulasikan dalam masyarakat Madinah (600 tahun sebelum Magna Charta) yang dinamai Piagam Madinah yang mengatur hubungan antar masyarakat yang sangat majemuk baik dari segi asal keturunan, budaya maupun agama yang dianut. Piagam itu mengikat masyarakat dengan nilai kemanusiaan yang berorientasi pada pencapaian cita-cita bersama.
Hak Asasi Manusia menyangkut eksistensi, martabat dan kehidupan dalam masyarakat. Hak Asasi Manusia merupakan konstitusi kehidupan manusia untuk dapat berinteraksi sesama manusia dan lingkungannya secara beradab. Masyarakat dan negara tidak akan bernilai dan berkembang tanpa mengakui, menghargai, melindungi dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Barangsiapa tidak mengakui Hak Asasi Manusia berarti mengingkari dirinya. Dengan demikian, permasalahan dan penegakan Hak Asasi Manusia akan selalu menggejala dalam setiap kehidupan masyarakat dan negara.
Korelasi antara pelecehan Hak Asasi Manusia dengan timbulnya chaos atau kemarahan massa juga terlihat antara lain pada Glorius Revolution di Inggris tahun 1688 yang menelurkan pengakuan terhadap hak-hak rakyat dan anggota parlemen, juga revolusi kemerdekaan di Amerika Serikat tahun 1776, begitu pula revolusi Perancis tahun 1789. Lebih lanjut dapat terlihat juga dalam revolusi dunia yaitu Perang Dunia I dan Perang Dunia II tahun 1945 yang menelorkan kesepakatan hak-hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human Rights yang terdiri dari 30 pasal di Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948.
Revolusi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 pada hakekatnya merupakan puncak perlawanan terhadap penindasan hak asasi oleh penjajah kolonial Belanda dan fascis Jepang. Pengalaman pahit bangsa Indonesia diperkosa hak asasinya oleh kaum penjajah dilukiskan dengan tinta emas oleh pendiri Republik tercinta ini dalam hak segala bangsa, dan pernyataan penghargaan terhadap peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Jadi, sejarah perjuangan Hak Asasi Manusia menunjukkan fakta-fakta bahwa munculnya revolusi sosial dan gejolak menentang dominasi negara terhadap negara lain serta gejolak sosial menentang kekuasaan yang tak terbatas atau perkosaan Hak Asasi Manusia dalam suatu negara merupakan pengejawantahan hati nurani kemanusaan untuk hidup secara bermartabat. Pada gilirannya, hasil perjuangan tersebut memerlukan jaminan bersama sehingga perlu dituangkan dalam formula piagam pernyataan, dalam konstitusi negara, undang-undang maupun peraturan lainnya, sesuai dengan luas jangkauan kebutuhan pengaturan dan relevansi sosialnya. Karena tanpa adanya jaminan pernyataan tertulis, ada kecenderungan untuk selalu terjadi pelanggaran-pelanggaran komitmen Hak Asasi Manusia. Dalam konstelasi ini terlihat adanya hubungan korelasional antara tegaknya Hak Asasi Manusia, hukum, keadilan dan demokrasi.
Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter merupakan bagian dari Fakultas Hukum UNISBA dan berkedudukan di Bandung. Meskipun merupakan bagian dari Fakultas Hukum, namun keanggotaannya bersifat terbuka sehingga pusat studi ini menampung siapapun yang berminat terhadap maslah HAM dan Hukum Humaniter.
Pusat Studi HAM dan Hukum Humaniter ini lahir sebagai salah satu wujud komitmen masyarakat akademik dalam mengeimplementasikan penegakan HAM dan Hukum Humaniter, dan upaya penghormatan HAM baik di masa maupun pada situasi konflik bersenjata.
Hal ini didorong pula pada kenyataan bahwa berbagai pelanggaran HAM yang terjadi tidak tertangani dan terus berlangsung merupakan bukti ketidakseriusan dan ketidakmauan (unable and unwilling) negara untuk mewujudkan penegakan HAM.
Sementara itu pada aspek Hukum Humaniter terlihat beberapa negara yang terlibat konflik bersenjata masih dilakukannya pemboman desa-desa, serangan yang diarahkan kepada sasaran sipil, perlakuan yang tidak baik terhapa tawanan perang. Kita sering mendengar pelanggran HAM dan Hukum Humaniter daripada penerapan dan penegakan HAM dan Hukum Humaniter, padahal HAM dan Hukum Humaniter menyediakan norma-norma yang melindungi, menghargai dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM dan Hukum Humaniter. Keduanya berusaha melindungi kehidupan, dan martabat individu walaupun dilakukan dengan cara yang berbeda.
Sorotan dan tuntutan terhadap penegakan HAM dan Hukum Humaniter dinilai belum berjalan dengan baik, sementara itu timbulnya penafsiran yang berbeda-beda dalam upaya penegkan HAM dan Hukum Humaniter tidak boleh dibiarkan berlangsung terus karena akan merugikan bangsa yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM dan Hukum Humaniter.


. Perang
Sejarah telah mencatat bahwa perang sudah ada sebelum adanya suatu Hukum yang berderajat tinggi dalam negara (Konstitusi), malah konon Perang adalah suatu inspirasi yang melahirkan tatanan bernegara yang baik dan melahirkan Hukum antar negara dan menjadi inspirasi tokoh-tokoh dunia seperti Henry Dunant untuk membentuk Organisasi Kemanusiaan se-Dunia yang sekarang kita kenal dengan sebutan Palang Merah Internasional yang berpusat di Jenewa, Swiss.
Peperangan biasanya dipicu oleh adanya perbedaan-perbedaan pendapat, pandangan (ideology), agama dan kepentingan yang bertolak belakang antar negara-negara di Dunia. Sejarah telah mencatat pula bahwa Dunia yang tua ini telah menjadi saksi bisu kearoganan dan keserakahan negara-negara yang berperang. Dunia sudah menjalani dua kali Perang Dunia dan beribu-ribu perang lainnya yang tidak kalah dahsyatnya. Mungkin ada benarnya pepatah yang berbunyi: “sejarah dunia dicatat dengan darah dan air mata”
Sekarang darah dan airmata itu tumpah ruah dan membanjiri seluruh wilayah Palestina, dimana ratusan juta jiwa anak-anak Palestina gugur sebagai syuhada dimedan pertempuran melawan argesor Zionis Israel. Pemandangan yang memilukan saya dapati ketika saya menyaksikan siaran berita Internasional beberapa hari yang lalu, dimana disebuah Mesjid di kota Beit Hanun, telah terjadi peristiwa penembakan seorang wanita Palestina oleh serdadu Israel. Ketika menyaksikan siaran berita itu hati saya meradang dan bergetar dalam hati sambil berkata: Dimana keberadaan Hukum, yang diharapkan dapat menjadi semacam “barrier” bagi pengumbaran nafsu angkara murka dari ummat manusia yang dititipi amanah di bumi ini? Ataukah memang benar, bahwa konflik antara Israel dan negara-negara Timur Tengah memang sudah merupakan skenario dari Yang Kuasa untuk berlangsung sampai dengan akhir zaman, sesuai dengan kepercayaan dalam agama yang saya anut? Tetapi, terlepas dari kepercayaan supra-natural tersebut, dari apa yang saya lihat dilayar Televisi tadi, sebagai orang yang berminat dalam kajian di bidang Hukum Internasional merasa perlu untuk menganalisa kejadian tersebut.
Hukum Humaniter
Hukum Humaniter atau lazim dikenal dengan sebutan Hukum Perang (Law of Armed Conflict), dibentuk dan diprakarsai oleh negara-negara yang bercita-cita mewujudkan adanya suatu aturan-aturan tertulis (written and legal provision) yang mengatur tata cara berperang dan mengatur juga perlindungan terhadap korban-korban konflik bersenjata. Hukum Humaniter juga dibentuk dengan suatu pengharapan yang amat besar akan adanya suatu solusi penyelesaian konflik bersenjata Internasional yang merupakan suatu gagasan yang muncul dan berkembang pesat setelah berakhirnya Perang Dunia ke II. Yang mendasari munculnya Hukum Humaniter adalah Konvensi Den Haag 1907, Konvensi Jenewa Tahun 1949 dan juga Protokol Tambahan I dan II tahun 1977.
Dalam Peperangan yang melibatkan dua negara atau lebih. munculah beberapa azas yang menjadi Hukum kebiasaan Internasional yang wajib diketahui dan diterapkan dengan benar oleh negara-negara yang sedang berperang (belligerents). Azas-azas Hukum Humaniter tersebut adalah (1)Asas Kepentingan Militer, (2)Asas Non-Diskriminatif, (3) Asas Kemanusiaan dan (4) Asas Ksatria.
Dari keempat azas tersebut dalam kenyataannya dua asas yang disebut terakhir (azas Kemanusiaan dan azas Ksatria) yang paling sering dilanggar oleh negara-negara yang berperang. Begitu juga dengan konflik bersenjata yang sedang terjadi sekarang di Palestina yang melibatkan dua kubu yang saling bermusuhan satu sama lain (hostile parties) juga terdapat banyak pelanggaran-pelanggaran berat (grave breach) atas Asas-Asas Hukum Humaniter.
Pelangaran Hukum Humaniter
Dalam konflik bersenjata di timur tengah ini sama sekali tidak tercermin asas kemanusiaan (Humanity) yang menghargai dan menghormati Hak-hak dasar Kombatan (prajurit) atau Non-Kombatan (warga sipil). Apa yang dilakukan serdadu Israel sangatlah memuakkan, mereka dengan semena-mena membantai secara membabi buta ( foolhardly action ) orang-orang Palestina tanpa peduli apakah mereka itu Kombatan atau Non-kombatan, Bahkan wanita-wanita dan anak-anak pun turut menjadi korban “haus darah” Zionis Israel. Dalam Hukum Humaniter diatur bahwa dalam perang yang boleh dibunuh atau dilumpuhkan hanya objek-objek militer saja ,seperti prajurit yang membawa senjata secara terbuka (openly weapon) dan objek-objek militer lainnya boleh dihancurkan ,namun dilarang keras untuk membunuh warga sipil yang tidak aktif berperan dalam peperangan. Ini membuktikan dengan sah bahwa Zionis Israel telah melecehkan Hukum Humaniter.
Asas kedua yang dilanggar adalah Asas Kesatria (Chivalry), yang mana dalam asas ini melarang segala jenis tindakan-tindakan yang curang, tidak perlu dan tidak terhormat dalam suatu konflik bersenjata, Asas ini adalah asas yang diwariskan dari para ksatria dalam masa yang silam. Dalam suatu konflik bersenjata antara dua negara harus lah ada kejelasan status antara Kombatan (prajurit) dengan Non-Kombatan (sipil) yang dalam Hukum Humaniter dikenal dengan sebutan Prinsip perbedaan Status (distinction principle). Tapi dalam kenyataannya sekarang di Palestina asas tersebut tidak diimplementasikan dengan benar oleh kedua negara.
Kedua negara ini masih saja melakukan serangan-serangan yang tidak perlu kepada Non-Kombatan dan bahkan banyak penyalah gunaan status, dimana orang sipil juga bisa ikut berperang. Banyak kasus ditemukan dalam konflik bersenjata antara Israel dan Palestina adanya pasukan-pasukan militan yang tidak jelas statusnya, apakah mereka warga sipil yang harus dilindungi ataukah tentara yang harus dibunuh. perang). Bahkan banyak kelompok-kelompok militan di Palestina yang menggunakan wanita dan anak-anak sebagai anggota militan mereka yang berarti mereka memiliki status ganda sebagai Kombatan dan juga sebagai warga sipil. Hal inilah yang bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap asas-asas Hukum Humaniter. Tetapi memang dapat dimaklumi mengapa Palestina berbuat demikian, sebab semua itu dapat dianggap sebagai sebuah kompensasi dari kurangnya jumlah (kuantitas) prajurit Palestina dan kurangnya persenjataan canggih yang mereka miliki.
Peperangan Israel dengan Palestina bisa ditamsilkan sebagai perseteruan antara “Goliath dan David” yaitu perang yang berat sebelah (unfair war). Di sini penting kiranya apabila dalam Hukum Humaniter juga ditambahkan satu asas lagi yaitu Asas Keadilan, yang menekankan kepada adanya keseimbangan penggunaan sumber daya perang diantara dua kubu yang berseteru, guna menghindari suatu keadaan di mana “Si kuat dengan mudah menerkam si lemah”.
Peperangan antara Palestina dan Israel barangkali juga dapat disebut sebagai perang adil (fair war) yang dikenal di Eropa pada reinaissance, dimana perang merupakan bentuk hak bela diri (right to defence) dari negara yang merasa teraniaya. Dalam hal ini bentuk- bentuk kekerasan diizinkan sebagai suatu cara untuk menjamin dan mempertahankan hak suatu negara manakala cara lainnya dianggap sudah tidak efektif.
Hukum Humaniter adalah hukum yang bersifat deklarasi wajib (mandatory declaration) bagi negara-negara yang meratifikasi konvensi-konvensi tentang Hukum Humaniter (Konvensi Deen Haag dan Konvensi Jenewa). Setiap negara yang sudah meratifikasi konvensi tersebut berarti secara hukum sudah terikat oleh semua persyaratan-persyaratan dan aturan-aturan yang digariskan oleh Hukum Humaniter. Inilah yang sering menjadi alasan bagi negara-negara yang melanggar Hukum Humaniter untuk berkilah dari kesalahan. Mereka beralasan tidak melanggar Hukum Humaniter karena negara mereka belum meratifikasi Hukum tersebut ,jadi mereka tidak terikat secara hukum (legal binding).
Walaupun demikian, reasoning seperti diatas terkesan dipaksakan, karena keterikatan sebenarnya tidak hanya atas nama legalitas, tetapi seharusnya para pelanggar hukum humaniter ini juga memiliki keterikatan berdasarkan hati nurani (conscience binding) yang selayaknya dimiliki oleh negara yang berperikemanusian. Pertanyaan mendasar yang perlu kita renungi untuk mengakhiri tulisan ini adalah: Kapankah kita bisa berharap getaran hati nurani bisa dirasakan oleh para pemimpin dari negara-negara yang sedang berperang?

Justice delayed is Justice denied
Serangan Israel ke Lebanon yang dimulai sejak 12 Juli 2006 hingga hari ini telah banyak menimbulkan korban jiwa terutama di kalangan masyarakat sipil. Meski mendapat kecaman keras dari seluruh penjuru dunia, Israel semakin menunjukkan keangkuhannya dengan terus masuk menyerang ke wilayah-wilayah di Lebanon. Salah satu peristiwa yang mendapat kecaman keras dunia di antaranya adalah tragedi Qana yang membuat 56 warga sipil 34 di antaranya adalah anak-anak, gugur.
Selain menimbulkan korban jiwa, serangan Israel juga merusak objek-objek sipil seperti jalan raya, gedung-gedung apartemen, jembatan, serta wilayah perumahan di desa-desa di Lebanon. Warga sipil dan objek-objek non-militer, berdasarkan hukum humaniter internasional khususnya Konvensi Jenewa adalah bagian yang harus dilindungi dan tidak diperbolehkan untuk diserang saat terjadi konflik bersenjata. Pelanggaran terhadapnya merupakan kejahatan perang, yang kemudian berdasarkan Statuta Roma diklasifikasikan sebagai kejahatan paling serius.
Louise Arbour, komisioner Komisi HAM PBB menyatakan operasi militer Israel bisa dipertimbangkan sebagai kejahatan perang di mana para pelakunya memiliki tanggung jawab personal secara pidana. Senada dengan apa yang dinyatakan Arbour, Human Rights Watch menyatakan bahwa serangan brutal di Lebanon itu, kemungkinan dapat membuat Israel dipersalahkan atas kejahatan perang.
Dugaan telah terjadinya kejahatan perang dalam krisis Lebanon bukanlah semata-mata permasalahan di antara Israel, Hizbullah, dan Lebanon. Kejahatan perang adalah salah satu bentuk kejahatan yang merupakan hostis humanis generis atau musuh seluruh umat manusia. Oleh karena itu, sudah menjadi tugas dan kewajiban seluruh umat manusia untuk menyelesaikan permasalahan ini dan menuntut pelaku kejahatan perang untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Penuntutan dan penghukuman terhadap para pelaku kejahatan perang adalah sangat penting.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah melalui cara apa yang dapat dilakukan untuk dapat menuntut dan menghukum para pelaku kejahatan perang, khususnya para komando pasukan Israel? Salah satu perdebatan yang kemudian muncul adalah dengan mencoba menggiring para pelaku tersebut ke International Criminal Court yang bermarkas di Den Haag, Belanda.

Karakter ICC
International Criminal Court (ICC) adalah lembaga pengadilan internasional yang dibentuk berdasarkan Statuta Roma. Lembaga ini bersifat permanen dan memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi, penuntutan, dan penghukuman terhadap beberapa kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan paling serius. Kejahatan itu antara lain mencakup genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
Namun tidak serta-merta suatu kasus kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian komunitas internasional secara keseluruhan dapat dibawa ke ICC. Ada batasan-batasan dan prakondisi tertentu yang sangat ketat hingga suatu kasus dapat diperiksa dan diadili oleh ICC. Untuk kasus dugaaan terjadinya kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel di Lebanon, setidaknya ada beberapa hambatan untuk dapat langsung menyerahkan kasus tersebut kepada jurisdiksi ICC,
Pertama, ICC menganut sebuah prinsip mendasar yakni prinsip komplementer yang diatur dalam pasal 1 dari Statuta Roma. ICC tidak mengantikan kedudukan pengadilan nasional untuk melakukan penuntutan. ICC hanya akan melakukan investigasi dan penuntutan bila pengadilan nasional negara yang bersangkutan unwilling atau unable dalam melakukan penuntutan terhadap pelaku kejahatan.
Jika dikaitkan dengan dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel di Lebanon, kemungkinannya amat tipis untuk mengadili para penjahat perang Israel melalui pengadilan nasionalnya. Hal ini dikarenakan suatu kejahatan perang biasanya didukung oleh kebijakan politik dalam negeri di mana kemudian hukum nasional menjadi tidak berdaya, alih-alih malah melindungi para pelaku tersebut. Andaikata ternyata nantinya ada pengadilan nasional Israel yang memeriksa dan mengadili pelaku kejahatan perang, maka kemungkinan besar pelaku-pelaku itu hanya pelaku lapangan. Sedangkan pelaku di tingkat komando tidak akan tersentuh.
Kedua, bahwa baik Israel maupun Lebanon bukanlah negara yang meratifikasi Statuta Roma. Padahal salah satu prakondisi utama yang diperlukan sehingga ICC memiliki jurisdiksi untuk melakukan investigasi dan penuntutan adalah bahwa negara-negara yang bersangkutan harus meratifikasi Statuta Roma. Dengan demikian, maka ICC tidak memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi dan penuntutan terhadap dugaan telah terjadinya kejahatan perang di Lebanon.
Hal ini tentu memiliki pengecualian. Yakni ketika Lebanon bersedia melakukan deklarasi yang menyatakan menerima jurisdiksi ICC untuk menginvestigasi dan menuntut terjadinya kejahatan perang di wilayah teritorialnya. Ini diatur dalam pasal 12 (3) Statuta Roma. Tentu saja dalam hal ini Lebanon harus menyiapkan segala dokumen atau bukti yang kuat tentang terjadinya kejahatan perang di wilayahnya untuk kemudian diserahkan kepada penuntut ICC untuk ditindaklanjuti. Satu lagi pengecualian terhadap prakondisi utama tersebut adalah ketika Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk memasukkan kasus yang terjadi di Lebanon kepada penuntut ICC.

Dewan Keamanan PBB (DK PBB) berdasarkan Bab 7 Piagam PBB memiliki tanggung jawab untuk melakukan tindakan terhadap setiap ancaman yang dapat mengganggu perdamaian dan keamanan internasional. Karena itu DK PBB memiliki kewenangan berdasar ketentuan pasal 13(b) Statuta Roma untuk me-refer kasus kejahatan serius kepada penuntut ICC dengan menyimpangi prakondisi utama yang diperlukan ICC untuk melaksanakan jurisdiksinya.
Untuk kasus dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel di wilayah Lebanon, tampaknya DK PBB tidak akan menempuh cara ini. Hal ini karena Amerika Serikat dipastikan akan melakukan veto untuk melindungi sekutu abadinya, yakni Israel, dari upaya-upaya untuk mengiringnya ke ICC. Amerika Serikat juga bukan merupakan negara yang meratifikasi Statuta Roma. Malahan Amerika Serikat menentang pendirian ICC, terbukti dengan upayanya membuat Billateral Immunity Agreements (BIAs) dengan negara-negara peratifikasi Statuta Roma. Karena itu setiap warga negara Amerika Serikat terbebas dari kemungkinan diajukan ke ICC.
Hal paling utama yang perlu diperhatikan dalam konflik di Lebanon adalah bahwa kejahatan perang adalah sesuatu yang melukai nilai-nilai kemanusian, perdamaian dan keamanan internasional. Pelaku harus dituntut sesuai dengan perbuatannya. Rantai impunitas bagi pelaku kejahatan perang harus diputus supaya di masa mendatang perbuatan serupa tidak akan terjadi lagi. Dengan demikian diharapkan keadilan bagi korban pelaku kejahatan perang tidak akan tertunda.

Deklarasi Universal HAM dan
Konvensi Internasional
Hak asasi manusia (HAM) kini telah menjadi elemen yang penting dalam percaturan politik internasional. Berakhirnya perang dingin pada dekade 1990-an telah mencuat isu HAM ke permukaan sehingga menjadi perhatian utama masyarakat internasional.
Sebagai elemen penting dalam percaturan politik internasional, masalah HAM sebetulnya bukan isu baru. Sejak abad 10 pada masa Yunani – Romawi dulu, HAM sudah menjadi perbincangan para ahli pikir dan filosof. Bahkan banyak unsur perdebatan lama seperti masalah hak dan kewajiban, hak individu atau kolektif, universalitas dan partikularitas, dan sebagainya berulang muncul kembali sebagai agenda perdebatan menjelang dan selama Konferensi HAM Sedunia di Wina pada tahun 1993.
Piagam PBB menempatkan HAM sebagai salah satu tujuannya dan bahwa kerjasama internasional perlu dimajukan untuk meningkatkan perlindungan hak asasi. Paragraf 2 Pembukaan Piagam menyatakan antara lain “…to reaffirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women ...” Sedangkan Pasal 1 ayat 3 Piagam lebih menekankan tujuannya “to achieve international cooperation …and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion”.

Deklarasi Universal HAM
Menindaklanjuti semangat Piagam tersebut, maka pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum PBB menerima dan memproklamirkan Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang berisikan 30 Pasal. Konsekuensinya, setiap negara anggota PBB baik sendiri maupun bersama-sama wajib memajukan HAM. Negara tidak dapat mengecualikan diri, apalagi berlindung dibalik prinsip kedaulatan atau yurisdiksi intern negara. Dalam kenyataannya pengertian bahwa pelanggaran berat HAM (gross violation of human rights) yang terjadu di suatu negara merupakan keprihatinan internasional dan tidak lagi merupakan masalah domestik suatu negara, sudah semakin diterima luas sebagai prinsip yang universal.
Kemajuan teknologi terutama pemberitaan jelas ikut mendorong HAM menjadi isu global. Kualitas dan kecepatan penyampaian berita melalui fax atau internet misalnya, yang dapat memuat gambar, dapat lebih mendramatisasi suatu peristiwa ketimbang fax atau telex. Batas fisik negara dan urusan tetangga pun kian menjadi kabur karena meningkatnya interdependency. Bola dunia seperti menciut menjadi “global village” dan kita hidup dalam suatu rukun tetangga global. Pelanggaran HAM yang dulunya merupakan isu domestik, kini sudah menjadi “international concern”.
Dengan demikian HAM merupakan komponen yang semakin penting dalam politik luar negeri suatu negara, sebab arus dua arah dan keterkaitan antara sisi domestik dan internasional begitu erat. Masalah HAM terkait erat dengan upaya peningkatan citra suatu bangsa sebagai bagian dari warga bangsa-bangsa yang beradab. Lebih dari itu, inter-dependency atau ketergantungan antara negara sebagai ciri era globalisasi telah menjadikan masalah HAM dikaitkan dengan masalah lainnya, seperti kerjasama ekonomi, perdagangan, militer dan sebagainya. Dengan kata lain, HAM merupakan komponen penting daripada kepentingan nasional yang perlu dimajukan oleh politik luar negeri suatu negara, baik negara maju ataupun negara berkembang, walaupun mungkin dilihat dari kacamata dan kepentingan yang berbeda.
Internasionalisasi isu HAM pada dekade akhir abad yang lalu menyusul runtuhnya tembok Berlin pada November 1989, mendorong banyak negara maju menata kembali kebijakan HAM sebagai komponen politik luar negeri. Lima puluh empat negara maju anggota Konperensi Keamanan dan Kerjasama (CSCE sekarang OSCE) sesuai Perjanjian Paris 1990, menjadikan HAM sebagai salah satu dari tiga pilar dari ideology baru mereka, yang bertumpukan pada market/competitive economy, pluralistic democracy dan human rights. Tiadanya musuh bersama mendorong mereka menjadikan HAM sebagai senjata ofensif daripada diplomasi dan upaya hegemoni mereka.
Kepentingan semasa perang dingin, memaksa suatu blok politik mencari dukungan atau simpati negara-negara berkembang. Sebaliknya, berakhirnya blok politik, yang menyatukan pandangan mereka tentang HAM, memudahkan negara-negara berkembang menjadi obyek sorotan atau kajian dari sisi HAM. Isu HAM lalu tidak lagi menjadi isu Timur – Barat, tetapi menjadi semacam isu Utara – Selatan dan Barat – Timur.
Isu HAM telah mendapatkan momentumnya kembali yaitu dengan diadakannya Konperensi Dunia Hak Asasi Manusia (KD-HAM) Kedua di Wina, Austria pada tanggal 14-25 Juni 1993, setelah KD-HAM Pertama pada Desember 1948 di Paris, Perancis. KD-HAM Kedua ini menghasilkan Deklarasi Wina tentang Program Aksi (Vienna Declaration on Action Plan). Selama konperensi berlangsung telah terjadi perdebatan sengit yang membahas apakah nilai HAM tersebut bersifat universal atau tidak. Negara-negara blok barat/blok utara atau negara maju menyatakan bahwa nilai HAM tidak bersifat universal, karena nilai HAM tersebut dipengaruhi oleh sosial dan budaya di setiap negara. Dalam kaitan ini perlu dicatat bahwa pada saat berlangsungnya KTT APEC ke IV di Kuala Lumpur, Dr. Mahatir Muhammad, Perdana Menteri Malaysia, menyatakan bahwa Deklarasi Universal HAM 1948 sudah saatnya direvisi untuk mengakomodasi kepentingan negara-negara berkembang yang pada saat diterimanya Deklarasi tersebut belum menjadi negara. INDONESIA DAN HAK
ASASIMANUSIA
Pemerintahan Soekarno
Bagi Indonesia, sebelum Deklarasi HAM 1948 tersebut diterima oleh Majelis Umum PBB, masalah HAM ini bukanlah hal baru. Dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) telah muncul perdebatan untuk memasukkan prinsip-prinsip HAM ke dalam UUD 1945. Perdebatan tersebut terpolarisasi dalam dua kubu, yaitu kubu Hatta dan kubu Sukarno. Kubu Hatta menyarankan agar prinsip-prinsip HAM dimasukkan kedalam UUD 1945. Sedangkan kubu Sukarno menolak dengan alas an bahwa apabila dimasukkan, maka akan bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berasaskan “gotong royong”. Sedangkan alas an kubu Hatta dengan memasukkan prinsip-prinsip HAM tersebut kedalam UUD 1945 adalah untuk memberikan jaminan kepada individu atas hak-haknya sebagai bagian dari masyarakat yang bersifat kolektif di Indonesia. Dalam perdebatan tersebut diambil jalan tengah, yaitu memasukkan hak-hak warga negara seperti yang tercantum dalam pasal-pasal 27, 28, 29, 31 dan 34 UUD’45.
Sewaktu Indonesia memberlakukan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) antara tahun 1948 – 1950, ketentuan-ketentuan HAM juga telah dimasukkan ke dalamnya. Begitu pula sewaktu Indonesia memberlakukan Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) antara tahun 1950-1959, ketentuan-ketentuan HAM pun diatur oleh UUDS tersebut. Malahan salah satu keistimewaan UUDS tersebut mencantumkan hak untuk melakukan demonstrasi dan mogok kerja oleh para buruh/pekerja sebagai alat memperjuangkan hak-haknya terhadap majikannya (pasal 21). Namun UUDS tidak jadi diberlakukan karena pada tanggal 5 Juli 1959 Sukarno kembali memberlakukan UUD’45.
Di masa rezim Soekarno, pelanggaran terhadap HAM secara signifikan banyak sekali terjadi. Hal itu dimungkinkan berdasarkan Penpres 11/1963 tentang subversi. Pada prinsipnya Penpres 11/1963 ini telah membatasi segala gerak dan kreasi seseorang dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari. Bergantinya rezim yang berkuasa di Indonesia dari Soekarno ke Soeharto telah memberikan secercah harapan untuk penegakan dan penghormatan HAM. Hal tersebut dapat terlihat dalam Keputusan Pimpinan MPRS No.241B/1967, tanggal 6 Maret 1967 tentang hasil kerja Panitia Ad Hoc yaitu Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia dan Hak serta Kewajiban Warga Negara. Panitia Ad Hoc tersebut dibentuk berdasarkan TAP XIV/MPRS/1966. Namun secercah harapan tersebut tidak menjadi kenyataan karena rancangan HAM tersebut nasibnya sama dengan rancangan UUD baru yang dipersiapkan oleh Dewan Konstituante, yaitu tidak jadi dibahas pada Sidang Umum MPRS tahun 1968, dengan alasan bahwa Sidang Umum lebih mengutamakan pembahasan masalah yang berkaitan dengan rehabilitasi dan konsolidasi nasional setelah terjadinya pemberontakan G 30S/PKI.
Di masa rezim Soekarno hanya satu konvensi HAM yang disahkan, yaitu: Konvensi Hak-hak Politik Wanita (Convention on the Political Rights of Women), dengan UU No.68/1958. Sedangkan konvensi yang tergolong dalam kategori HAM dan telah disahkan adalah: (a). Konvensi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) seperti Konvensi ILO No. 98 tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama (ILO Convention No. 98 on Rights to Organize and Collective Bargaining), dengan UU No. 18/1956; dan (b). Konvensi ILO No.100 tentang Pengupahan Bagi Laki-laki dan Perempuan Untuk Pekerjaan yang sama Nilainya (ILO Convention No. 100 on Equal Remuneration for Men and Women Workers for Work of Equal Value), dengan UU No. 80/1957.
Pemerintahan Soeharto
Di masa rezim Soeharto kondisi penghormatan dan pemajuan HAM boleh dikatakan berjalan ditempat, karena tidak ada hal-hal signifikan yang terjadi, kecuali telah disahkannya 3 (tiga) Konvensi HAM, yaitu:
1. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), dengan UU No. 7/1984;
2. Konvensi Internasional Menentang Apartheid Dalam Olah Raga (International Convention against Apartheid in Sport), dengan Keppres No. 48/1993;
3. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child), dengan Keppres No. 36/1990

Dalam prakteknya, pada saat peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto telah terjadi pelanggaran HAM besar-besaran, yaitu banyak orang dituduh terlibat G. 30S/PKI (tersangkut masalah politik) yang terbunuh tanpa proses peradilan. Nampaknya, di masa rezim Soeharto penegakan dan penghormatan HAM dikesampingkan dengan dalih trilogy pembangunan, yaitu untuk tujuan “stabilitas nasional; pemerataan ekonomi; dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi”.

Pemerintahan B.J . Habibie

Pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie yang berlangsung selama 15 bulan, penghormatan dan pemajuan HAM telah menemukan momentumnya dengan Ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan disahkannya sejumlah konvensi HAM, yaitu:

1. Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam lainnya (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment), dengan UU. No.5/1999;
2. Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination), dengan No. 29/1999;
3. Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi (ILO Convention No. 87 on Freedom of Association and Protection of the Rights to Organize), dengan Keppres 83/1998
4. Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa (ILO Convention No. 105 on the Abolition of Forced Labour), dengan UU No. 19/1999;
5. Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan (ILO Convention No. 111 on Disrimination in Respect of Employment and Occupation), dengan UU No.21/1999;
6. Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja (ILO Convention No. 138 on Minimum Age for Admission to Employment), dengan UU No. 20/1999.

Selain itu sebagai cermin dari kesungguhan untuk memajukan dan menghormati HAM pada masa pemerintahan B.J. Habibie, DPR, DPR telah menyetujui sejumlah Undang-undang nasional, yaitu:

1. UU No. 8/1998 tentang Kebebasan Menyatakan pendapat;
2. UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia;
3. UU No. 2/1999 tentang Partai Politik;
4. UU No. 3/1999 tentang Pemilihan Umum;
5. UU No. 26/1999 tentang Pencabutan UU/Penpres No.11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi;
6. UU No. 35/1999 tentang Perubahan atas UU No. 14/1970 tentang Kehakiman yang intinya mengalihkan penanganan masalah kehakiman dari Departemen Kehakiman kepada Mahkamah Agung. Dengan adanya perubahan UU tersebut, diharapkan lembaga peradilan dapat terbebas dari campur tangan pemerintah. Hal ini juga sesuai dengan prinsip-prinsip trias politica yang diakui dalam konsep HAM.

Hal terpenting yang telah dilakukan oleh Indonesia adalah pembentukan “Komisi Nasional Hak Asasi Nasional” (Komnas HAM) dengan Keppres No. 50/1993. Keppres tersebut telah diperkuat oleh UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Tujuan dibentuknya Komnas HAM adalah untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, serta Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, serta meningkatkan perlindungan dan pengakuan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan kemampuannya untuk berpartisipasi dalam berbagai kehidupan (Pasal 75 UU No. 39/1999).

Selain itu, pada tanggal 15 Agustus 1998, Presiden B.J. Habibie telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 1998 – 2003, melalui Keppres No. 129/1998. Maksud dan tujuan RAN-HAM adalah untuk memberikan jaminan bagi peningkatan, pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia di Indonesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat istiadat, budaya dan agama bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pelaksanaan RAN-HAM dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dalam suatu program 5 tahun yang dapat ditinjau dan disempurnakan berdasarkan skala prioritas. RAN-HAM tersebut mengikutsertakan seluruh departemen/lembaga terkait langsung dengan pelaksanaan HAM dan dikoordinasikan oleh Departemen Luar Negeri. Untuk mencapai maksud dan tujuan RAN-HAM tersebut, didasarkan pada 4 pilar yaitu:

1. Persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang hak asasi manusia;
2. Diseminasi informasi dan pendidikan di bidang hak asasi manusia;
3. Penentuan skala prioritas internasional di bidang hak asasi manusia ;
4. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang hak asasi manusia yang telah disahkan, dan melakukan harmonisasi dengan perundang-undangan nasional.

Pemerintahan Abdurrachman Wahid

Pada masa pemerintahan Abdurrachman Wahid, upaya pemajuan dan perlindungan HAM lebih ditingkatkan dan mendapat perhatian cukup serius. Hal ini dapat dilihat dari upaya menyempurnakan RAN-HAM yang dilakukan oleh Departemen Luar Negeri sebagai koordinator RAN-HAM bekerjasama dengan departemen/lembaga/institusi terkait lainnya, dan pembentukan lembaga baru Menteri Negara Urusan HAM (Meneg HAM) yang berdasarkan hasil reshuffle kabinet bulan Agustus 2000 berada dibawah Departemen Kehakiman dan HAM. Terbentuknya Meneg-HAM dalam Kabinet Persatuan Nasional telah memunculkan nuansa baru dalam pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Berkenaan dengan hal ini, maka perlu diadakan perubahan seperlunya atas Keppres No. 129/1998 tentang RAN-HAM yaitu adanya pembagian tugas dan koordinasi antara Departemen Kehakiman dan HAM dengan Departemen Luar Negeri dalam pelaksanaan HAM di Indonesia.

Selain itu, untuk saat ini ada dua konvensi HAM yang sedang dalam proses pengesahan oleh Pemri, yaitu:

1. International Covenant on Civil and Political Rights and Optional Protocol to the Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
2. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights and Optional Protocol to International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights (ICESCR)

Peradilan HAM di Indonesia

Sebagaimana diketahui, pelanggaran HAM telah banyak terjadi di Indonesia mulai dari yang sederhana sampai pada pelanggaran yang berat. Untuk pelanggaran yang sifatnya sederhana, dapat diselesaikan melalui mediasi atau pihak ketiga. Sedangkan terhadap Pelanggaran HAM yang berat, sesuai dengan Pasal 104 UU 39/1999, perlu dibentuk pengadilan HAM yang berada di lingkungan peradilan umum. Menurut UU No.39/1999, pengadilan HAM tersebut harus dibentuk dalam jangka waktu paling lama 4 tahun, dan sebelum pengadilan HAM tersebut terbentuk maka kasus-kasus pelanggaran HAM berat diadili oleh pengadilan umum yang berwenang.

Mengingat semakin kuatnya desakan agar pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat TNI Dan sipil dapat diadili, maka Pemerintahan Presiden B.J. Habibie menggunakan hak konstitusionalnya berdasarkan pasal 22 UUD 1945 menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1/1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan terhitung mulai tanggal 8 Oktober 1999 dinyatakan berlaku. Secara tegas Perpu ini telah menetapkan jenis-jenis pelanggaran HAM yang berat dan bagi para pelakunya harus dihukum/pidana penjara kalau terbukti secara sah dan meyakinkan oleh pengadilan HAM. Pelanggaran HAM yang dapat dihukum menurut Perpu tersebut meliputi pemusnahan ras (genocide); pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing); penghilangan orang secara paksa; perbudakan; diskriminasi yang dilakukan secara sistematis; dan penganiayaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian walaupun Indonesia belum menjadi pihak pada beberapa Konvensi utama HAM, namun prinsip-prinsip yang dikandung dalam ketentuan Konvensi-konvensi HAM itu telah diakui dan dapat menjadi hukum positif Indonesia melalui pemberlakuan Perpu No. 1/1999 tersebut.

Sebagai catatan, menurut prinsip-prinsip universal peradilan HAM, terdapat perbedaan yang jelas dalam pertanggungan jawab antara pelanggaran HAM dan pertanggungan jawab dalam tindak pidana biasa. Pertanggungan jawab pelanggaran HAM syaratnya harus dilakukan oleh pejabat publik (militer atau sipil) bersama orang biasa, dan dilakukan atas nama negara atau pemerintah. Bagi si pelanggar, walaupun menjalankan tugas, dia diminta bertanggung jawab secara pribadi (personal responsibility). Selain itu, penuntutan bagi si pelanggar HAM yang berat tidak dikenal azas kadaluarsa seperti yang dikenal dalam tindak pidana biasa. Sedangkan tanggung jawab negara adalah memberikan ganti rugi, restitusi dan rehabilitasi fisik maupun mental pada korban dan /atau pada ahli waris korban. Dalam pertanggungan jawab tindak pidana biasa, si pelaku diminta pertanggungan jawab secara pribadi, namun tidak ada ganti rugi, restitusi dan rehabilitasi.

Keberadaan Perpu ini ditentang oleh banyak pihak yang menolaknya, termasuk pemerintahan Gus Dur saat ini. Alasan penolakan tersebut adalah bahwa Perpu dimaksud sangat jauh dari sempurna dan tidak bisa mengadili pelanggaran HAM yang telah terjadi sebelum Perpu tersebut diundangkan (retroaktif) seperti pelanggaran HAM di Aceh dan penculikan aktivis mahasiswa. Untuk itu Pemerintah melalui Menteri Hukum dan Perundang-Undangan berharap bahwa DPR akan menolak Perpu tersebut dan menggantinya dengan UU. Saat ini pemerintah telah menyiapkan RUU pengganti Perpu. Dalam rancangan RUU tersebut, masih ada masalah yang cukup kontroversial, yaitu:
a. Bentuk pengadilan HAM yang diperlukan, apakah permanen atau adhoc.
b. Peradilan HAM tersebut bersifat retroaktif atau tidak. Apabila retroaktif, berapa tahun masa surutnya.
c. Perlunya dimasukkan rumusan-rumusan baru dibidang HAM maupun hukum humaniter yang muncul dalam kasus-kasus pelanggaran HAM internasional.

Peradilan HAM Internasional

Saat ini PBB sedang berupaya menyelesaikan “Rules of Procedure” atau “Hukum Acara” bagi berfungsinya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) yang Statuta pembentukannya baru disahkan melalui Konferensi Internasional di Roma, Italia, pada bulan Juni 1998. Yurisdiksi ICC berlaku atas kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia dan kejahatan humaniter lainnya, “genocide” (pemusnahan ras), kejahatan perang, serta agresi. Negara-negara anggota PBB tidak secara otomatis terikat oleh yurisdiksi ICC, tetapi melalui suatu pernyataan mengikatkan diri dan menjadi “pihak” pada Statuta ICC. Kedudukan ICC adalah di Den Haag, Belanda, namun sidang-sidangnya dapat diadakan di negara lain sesuai dengan kebutuhan.

Peradilan internasional HAM lainnya yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB di bawah Bab VII Piagam PBB, untuk mengadili kejahatan humaniter adalah sebagai berikut :
a. Mahkamah Internasional untuk Bekas Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia) yang dibentuk pada tahun 1993 dan berkedudukan di Den Haag, Belanda
b. Mahkamah Internasioanl untuk Rwanda (International Tribunal for Rwanda) yang dibentuk pada tahun 1994 dan berkedudukan di Arusha, Tanzania, dan di Kigali, Rwanda.
KESIMPULAN
Sesungguhnya hak-hak asasi manusia bukan merupakan hal yang asing bagi bangsa Indonesia. Perjuangan melepaskan diri dari belenggu penjajah asing selama beratus-ratus tahun adalah perjuangan mewujudkan hak penentuan nasib sendiri sebagai hak asasi manusia yang paling mendasar. Komitmen Indonesia dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia di seluruh wilayah Indonesia bersumber pada Pancasila, khususnya sila kedua yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta pasal-pasal yang relevan dalam UUD 1945 yang dirumuskan sebelum dicanangkannya Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948. Di samping itu, nilai-nilai adat istiadat, budaya dan agama bangsa Indonesia juga menjadi sumber komitmen bangsa Indonesia dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.

Upaya pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia di Indonesia dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip kesatupaduan, keseimbangan dan pengakuan atas kondisi nasional. Prinsip kesatupaduan berarti bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya dan hak pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan baik dalam penerapan, pemantauan maupun dalam penilaian pelaksanaannya. Prinsip keseimbangan mengandung pengertian bahwa diantara hak-hak asasi manusia perorangan dan kolektif serta tanggung jawab perorangan terhadap masyarakat dan bangsa memerlukan keseimbangan dan keselarasan. Hal ini sesuai dengan kodrat manusia sebagai mahluk sebagai individual dan mahluk sosial. Keseimbangan dan keselarasan antara kebebasan dan tanggung jawab merupakan faktor penting dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.

Diakui bahwa hak-hak asasi manusia bersifat universal dan masyarakat internasional juga telah mengakui dan menyepakati bahwa pelaksanaannya merupakan wewenang dan tanggung jawab setiap pemerintah negara dengan memperhatikan sepenuhnya keanekaragaman tata nilai, sejarah, kebudayaan, sistem politik, tingkat pertumbuhan sosial dan ekonomi serta faktor-faktor lain yang dimiliki bangsa yang bersangkutan.

Indonesia menyambut baik kerjasama internasional dalam upaya pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia di seluruh atau di setiap negara termasuk Indonesia. Kerjasama internasional tersebut harus mengacu pada prinsip-prinsip dan tujuan-tujan Piagam PBB khususnya dalam pasal 1 ayat 3, pasal 55 dan 56 Piagam PBB. Kerjasama internasional di bidang hak-hak asasi manusia juga harus berdasarkan pada prinsip-prinsip saling menghormati, persamaan derajat dan hubungan baik antar bangsa serta hukum internasional yang berlaku dengan memperhatikan kebutuhan nasional dan menghormati ketentuan-ketentuan nasional yang berlaku.

Upaya pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia bukanlah hal yang mudah dan dapat dilakukan dalam waktu sekejap, akan tetapi merupakan suatu proses yang panjang seperti halnya proses pembangunan itu sendiri. Karena itu upaya tersebut perlu dilakukan secara terus menerus, berkelanjutan dan terpadu oleh semua pihak yakni pemerintah, organisasi-organisasi sosial politik dan kemasyarakatan maupun berbagai lembaga-lembaga swadaya kemasyarakatan serta semua kalangan dan lapisan masyarakat dan warga negara Indonesia senantiasa menyambut baik uluran bantuan bilateral, regional maupun internasional dalam memperkuat kemampuan nasional guna melaksanakan program pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, sesuai dengan semangat kerjasama internasional yang digariskan oleh Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta prinsip saling menghormati dan hubungan baik antar negara.

Komitmen Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia antara lain telah ditunjukkan dengan pembentukan Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia pada tahun 1993. Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia tersebut juga dibentuk sesuai dengan keinginan dan kesepakatan masyarakat internasional pada Konferensi Hak-hak Asasi Manusia Sedunia Kedua di Wina pada tahun 1993 yang secara konsensus mengesahkan Deklarasi dan Program Aksi Wina.

Sesuai dengan saran yang tertuang dalam Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993 serta hasil Lokakarya Nasional HAM II yang diselenggarakan oleh Pemerintah Indonesia, Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia dan PBB pada tanggal 24-26 Oktober 1994, Indonesia juga telah merumuskan suatu Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia 1998-2003 yang memuat langkah-langkah nyata yang akan dilakukan pada tingkat nasional dalam kurun waktu 5 tahun mendatang. Pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Hak-hak Asasi Manusia Indonesia secara sistematis dan terpadu dengan tetap mengacu kepada butir-butir pedoman yang tertuang dalam Kebijaksanaan Pembangunan Lima Tahun Ketujuh dari Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara diharapkan akan semakin memperkuat landasan ke arah pemantapan budaya penghormatan hak-hak asasi manusia dan pada akhirnya akan memperkokoh sendi-sendi masyarakat Indonesia yang adil makmur dan sejahtera sesuai peri keadilan, kebenaran dan hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk lebih memperkuat komitmen Indonesia terhadap masalah HAM, MPR-RI dalam Sidang Tahunannya pada bulan Agustus 2000 telah melakukan Perubahan Kedua UUD 1945 dengan menambahkan satu bab yaitu Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Mengantisipasi perkembangan pemajuan dan penghormatan HAM selama ini, Indonesi sebenarnya sudah berada pada jalur (track) yang benar dari segi perangkat lunak (perundang-undangan), namun yang menjadi masalah sekarang adalah peningkatan kualitas perangkat kerasnya seperti sumber daya manusia di berbagai lapisan masyarakat dan pemberdayaan (empowerment) lembaga-lembaga terkait langsung dengan HAM. Selain itu jug perlu diperhatikan bahwa proses pengesahan konvensi-konvensi internasional HAM harus diikuti dengan upaya-upaya pelaksanaannya secara nasional, yang meliputi penyusunan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaannya agar ketentuan-ketentuan konvensi HAM yang merupakan norma hukum internasional dapat dilaksanakan di Indonesia. Selanjutnya juga perlu upaya sosialisasi (dissemination) kepada masyarakat dari berbagai kalangan untuk meningkatkan kesadaran terhadap penghormatan dan pemajuan HAM. Semua upaya ini sebenarnya telah dituangkan dalam RAN-HAM yang saat sedang disempurnakan, namun realisasinya perlu didukung oleh kemauan dan komitmen dari berbagai pihak. Hal ini sangat penting, karena tanpa memperhatikan masalah-masalah tersebut maka upaya-upaya yang sedang dilakukan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Diharapkan pelatihan Monitoring dan Evaluasi Ha-hak Anak bagi Anggota Pokja Pemantauan dan Evaluasi HAM yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Urusan HAM (Departemen Kehakiman dan HAM) ini merupakan suatu upaya ke arah tersebut